Selasa, 19 April 2011

PAKAI CADAR WAJIB?

Tidak ada alasan bagi  saya  untuk  diam  dan  merasa  cukup
dengan apa yang pernah saya tulis sebelumnya.
 
Saya   tahu   bahwa   perdebatan   mengenai  masalah-masalah
khilafiyah   itu   tidak   akan   selesai   dengan    adanya
makalah-makalah  dan  tulisan-tulisan  lepas,  bahkan  dalam
bentuk sebuah buku (kitab) sekalipun.
 
Selama sebab-sebab perbedaan pendapat itu  masih  ada,  maka
ikhtilaf   (perbedaan  pendapat)  itu  akan  senantiasa  ada
diantara manusia, meskipun mereka  sama-sama  muslim,  patuh
pada agamanya, dan ikhlas.
 
Bahkan  kadang-kadang komitmen dan keikhlasan terhadap agama
menyebabkan   perbedaan   pendapat   itu   semakin    tajam.
Masing-masing  pihak  ingin  mengunggulkan dan memberlakukan
pendapat yang diyakininya benar sebagai  ajaran  agama  yang
akan  diperhitungkan  dengan  mendapatkan  pahala (bagi yang
melaksanakannya)  atau  mendapatkan   hukuman   (bagi   yang
melanggarnya).
 
Perbedaan   pendapat   itu  akan  terus  berlangsung  selama
nash-nashnya sendiri  -  yang  merupakan  sumber  penggalian
hukum   -  masih  menerima  kemungkinan  perbedaan  pendapat
tentang periwayatan dan petunjuknya,  selama  pemahaman  dan
kemampuan   manusia   untuk   mengistimbath   (menggali  dan
mengeluarkan) hukum masih berbeda-beda, dan sepanjang  masih
ada   kemungkinan   untuk   mengambil   zhahir   nash   atau
kandungannya,  yang  tersurat  atau  yang   tersirat,   yang
rukhshah  (merupakan keringanan) ataupun yang 'azimah (hukum
asal), yang lebih hati-hati atau yang lebih mudah.
 
Perbedaan pendapat akan  senantiasa  muncul  selama  manusia
masih ada yang bersikap ketat seperti Ibnu Umar dan ada yang
bersikap longgar seperti Ibnu  Abbas;  dan  selama  diantara
mereka  masih  ada  orang  yang  menunaikan  shalat ashar di
tengah jalan dan ada yang tidak menunaikannya  melainkan  di
perkampungan Bani Quraizhah (setelah sampai di sana).
 
Adalah  merupakan  rahmat  Allah  bahwa  perbedaan  pendapat
seperti ini tidak terlarang dan bukan  perbuatan  dosa,  dan
orang  yang  keliru  dalam  berijtihad  ini dimaafkan bahkan
mendapat pahala satu.  Bahkan  ada  orang  yang  mengatakan,
"Tidak  ada  yang salah dalam ijtihad-ijtihad furu'iyah ini,
semuanya benar."
 
Para sahabat dan orang-orang yang  mengikuti  mereka  dengan
baik  juga  sering  berbeda pendapat antara yang satu dengan
yang lain  mengenai  masalah-masalah  furu'  (cabang)  dalam
agama, namun mereka tidak menganggap hal itu sebagai bahaya.
Mereka tetap bersikap toleran, dan sebagian mereka shalat di
belakang sebagian yang lain, tanpa ada yang mengingkari.
 
Dengan   menyadari   bahwa   perbedaan   pendapat  itu  akan
senantiasa ada, maka saya harus menjawab pertanyaan ini, dan
saya   akan  mengulangi  tema  tersebut  dengan  menambahkan
penjelasan. Mudah-mudahan Allah memberi taufik  kepada  saya
hingga  mampu mengungkapkan perkataan yang benar, yang dapat
memutuskan  perselisihan  atau  -   minimal   -   mengurangi
ketajamannya,  yang  melunakkan  kekerasannya  sehingga hati
wanita yang berhijab (tetapi tidak  bercadar)  merasa  riang
dan memudahkan urusan bagi yang mengumandangkan cadar (untuk
memakainya).
 
MEMPERLIHATKAN MUKA DAN TANGAN MENURUT PENDAPAT JUMHUR ULAMA
 
Ingin segera saya tegaskan disini tentang suatu hakikat yang
sebenarnya  sudah  tidak perlu penegasan, karena di kalangan
ahli ilmu hal itu sudah terkenal dan tidak samar lagi, sudah
masyhur  dan  tidak asing lagi, yaitu bahwa pendapat tentang
tidak wajibnya memakai cadar serta  bolehnya  membuka  wajah
dan  kedua  telapak  tangan  bagi  wanita  muslimah di depan
laki-laki lain yang bukan muhrimnya adalah  pendapat  jumhur
fuqaha umat semenjak zaman sahabat r.a..
 
Karena  itu  tidak  perlu  dipertengkarkan, sebagaimana yang
ditimbulkan oleh sebagian yang ikhlas tetapi  tidak  berilmu
dan  oleh  sebagian  pelajar dan ilmuwan yang bersikap ketat
terhadap pendapat  yang  dikemukakan  seorang  da'i  kondang
Syekh   Muhammad   al-Ghazali   dalam   beberapa   buku  dan
makalahnya. Mereka beranggapan  seakan-akan  beliau  membawa
bid'ah  atau  pendapat  baru,  padahal  sebenarnya  apa yang
beliau  kemukakan  itu  merupakan  pendapat  imam-imam  yang
mu'tabar  dan  fuqaha yang andal, sebagaimana yang akan saya
jelaskan kemudian. Selain itu,  apa  yang  beliau  kemukakan
merupakan pendapat yang didukung oleh dalil-dalil dan atsar,
disandarkan pada penalaran dan i'tibar,  dan  didukung  pula
oleh realitas dalam beberapa zaman.
 
MAZHAB HANAFI
 
Dalam  kitab  al-Ikhtiyar,  salah  satu kitab Mazhab Hanafi,
disebutkan: Tidak diperbolehkan melihat wanita lain  kecuali
wajah dan telapak tangannya, jika tidak dikhawatirkan timbul
syahwat. Dan diriwayatkan  dari  Abu  Hanifah  bahwa  beliau
menambahkan  dengan  kaki, karena pada yang demikian itu ada
kedaruratan untuk mengambil dan memberi serta untuk mengenal
wajahnya   ketika   bermuamalah  dengan  orang  lain,  untuk
menegakkan kehidupan dan kebutuhannya, karena  tidak  adanya
orang yang melaksanakan sebab-sebab penghidupannya.
 
Beliau  berkata:  Sebagai  dasarnya ialah firman Allah, "Dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali  apa  yang
biasa tampak daripadanya." (an-Nur: 31 )
 
Para  sahabat  pada  umumnya berpendapat bahwa yang dimaksud
ayat  tersebut  ialah  celak  dan  cincin,  yaitu  tempatnya
(bagian  tubuh  yang  ditempati  celak  dan cincin). Hal ini
sebagaimana telah saya jelaskan  bahwa  celak,  cincin,  dan
macam-macam  perhiasan itu halal dilihat oleh kerabat maupun
orang  lain.  Maka  yang  dimaksud  disini   ialah   'tempat
perhiasan itu,' dengan jalan membuang mudhaf dan menempatkan
mudhaf ilaih pada tempatnya.
 
Beliau berkata, adapun  kaki,  maka  diriwayatkan  bahwa  ia
bukanlah  aurat  secara mutlak, karena bagian ini diperlukan
untuk berjalan sehingga akan tampak. Selain itu, kemungkinan
timbulnya  syahwat  karena melihat muka dan tangan itu lebih
besar, maka halalnya melihat kaki adalah lebih utama.
 
Dalam satu riwayat disebutkan, kaki itu adalah  aurat  untuk
dipandang, bukan untuk shalat.1
 
MAZHAB MALIKI
 
Dalam  syarah  shaghir  (penjelasan ringkas) karya ad-Dardir
yang berjudul Aqrabul Masalik ilaa Malik, disebutkan:
 
"Aurat wanita merdeka terhadap laki-laki asing,  yakni  yang
bukan  mahramnya,  ialah  seluruh  tubuhnya selain wajah dan
telapak tangan. Adapun selain itu bukanlah aurat."
 
Ash-Shawi mengomentari pendapat tersebut dalam Hasyiyah-nya,
katanya,  "Maksudnya,  boleh  melihatnya,  baik  bagian luar
maupun   bagian   dalam   (tangan   itu),    tanpa    maksud
berlezat-lezat  dan  merasakannya,  dan  jika tidak demikian
maka hukumnya haram."
 
Beliau berkata, "Apakah pada waktu itu wajib  menutup  wajah
dan  kedua  tangannya?"  Itulah  pendapat  Ibnu  Marzuq yang
mengatakan bahwa ini merupakan mazhab (Maliki) yang masyhur.
 
Atau, apakah wanita tidak wajib menutup wajah dan  tangannya
hanya  si laki-laki yang harus menundukkan pandangannya? Ini
adalah pendapat yang dinukil oleh al-Mawaq dari 'Iyadh.
 
Sedangkan Zurruq merinci dalam Syarah al-Waghlisiyah  antara
wanita  yang  cantik  dan  yang  tidak,  yang  cantik  wajib
menutupnya, sedangkan yang tidak cantik hanya mustahab.2
 
MAZHAB SYAFI'I
 
Asy-Syirazi, salah seorang ulama Syafi'iyah, pengarang kitab
al-Muhadzdzab mengatakan:
 
"Adapun  wanita merdeka, maka seluruh tubuhnya adalah aurat,
kecuali wajah dan telapak  tangan  -  Imam  Nawawi  berkata:
hingga  pergelangan  tangan  - berdasarkan firman Allah 'Dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali  apa  yang
biasa tampak daripadanya.' Ibnu Abbas berkata, 'Wajahnya dan
kedua telapak tangannya.'3
Disamping itu, karena Nabi saw. 'melarang wanita yang sedang
ihram  mengenakan  kaos tangan dan cadar'.4 Seandainya wajah
dan telapak tangan itu  aurat,  niscaya  beliau  tidak  akan
mengharamkan  menutupnya.  Selain  itu, juga karena dorongan
kebutuhan untuk menampakkan  wajah  pada  waktu  jual  beli,
serta   perlu   menampakkan   tangan   untuk  mengambil  dan
memberikan sesuatu, karena itu (wajah dan tangan) ini  tidak
dianggap aurat.
 
Imam    Nawawi    menambahkan   dalam   syarahnya   terhadap
al-Muhadzdzab, yaitu al-Majmu', "Diantara  ulama  Syafi'iyah
ada yang menceritakan atau mengemukakan suatu pendapat bahwa
telapak kaki bukanlah  aurat.  Al-Muzani  berkata,  'Telapak
kaki  itu  bukan  aurat.'  Dan  pendapat  mazhab adalah yang
pertama."5
 
MAZHAB HAMBALI
 
Dalam mazhab Hambali kita  dapati  Ibnu  Qudamah  mengatakan
dalam  kitabnya  al-Mughni  (1:  601) sebagai berikut: Tidak
diperselisihkan dalam mazhab tentang bolehnya wanita membuka
wajahnya  dalam  shalat,  dan dia tidak boleh membuka selain
wajah dan  telapak  tangannya.  Sedangkan  mengenai  telapak
tangan ini ada dua riwayat.
 
Para  ahli  ilmu  berbeda pendapat, tetapi kebanyakan mereka
sepakat  bahwa  ia  boleh  melakukan  shalat  dengan   wajah
terbuka.  Dan  mereka  juga sepakat bahwa wanita merdeka itu
harus mengenakan tutup kepalanya jika melakukan shalat,  dan
jika  ia  melakukan  shalat  dalam keadaan seluruh kepalanya
terbuka, maka ia wajib mengulangmya.
 
Imam Abu Hanifah berkata,  "Kaki  itu  bukan  aurat,  karena
kedua  kaki  itu  memang  biasanya  tampak.  Karena  itu, ia
seperti wajah."
 
Imam Malik, al-Auza'i, dan Imam  Syafi'i  berkata,  "Seluruh
tubuh  wanita  itu  adalah aurat kecuali muka dan tangannya,
dan selain itu wajib ditutup pada waktu shalat, karena dalam
menafsirkan   ayat   ,dan   janganlah   mereka   menampakkan
perhiasannya kecuali apa  yang  biasa  tampak  daripadanya,"
Ibnu Abbas berkata, 'Yaitu wajah dan telapak tangan."
 
Selain  itu,  karena  Nabi  saw.  melarang  wanita  berihram
memakai kaus tangan dan cadar. Andaikata  wajah  dan  tangan
itu aurat niscaya beliau tidak akan mengharamkan menutupnya.
Selain itu, karena diperlukan  membuka  wajah  dalam  urusan
jual beli, begitupun kedua tangan untuk mengambil (memegang)
dan memberikan sesuatu.
 
Sebagian sahabat kami berkata, "Wanita itu seluruhnya adalah
aurat,  karena  diriwayatkan dari Nabi saw. bahwa wanita itu
aurat."  Diriwayatkan  oleh  Tirmidzi  dan  beliau  berkata,
"Hadits  hasan  sahih."  Tetapi  beliau  memberinya rukhshah
(keringanan) untuk membuka wajah dan tangannya  karena  jika
ditutup   akan   menimbulkan  kesulitan.  Dan  diperbolehkan
melihatnya pada waktu meminang karena  wajah  itu  merupakan
pusat   kecantikan.   Dan  ini  adalah  pendapat  Abu  Bakar
al-Harits bin Hisyam, beliau berkata, "Wanita itu seluruhnya
adalah aurat hingga kukunya."
 
Demikian keterangan dalam kitab al-Mughni.
 
MAZHAB-MAZHAB LAIN
 
Dalam  menjelaskan  berbagai  pendapat ulama tentang masalah
aurat, Imam Nawawi mengatakan dalam kitabnya al-Majmu':
 
Aurat wanita itu ialah seluruh tubuhnya  kecuali  wajah  dan
telapak  tangannya. Disamping Imam Syafi'i, yang berpendapat
demikian adalah Imam  Malik,  Abu  Hanifah,  al-Auza'i,  Abu
Tsaur,  dan  segolongan  ulama, serta satu riwayat dari Imam
Ahmad.
 
Selain itu, Imam Abu Hanifah, Tsauri, dan al-Muzani  berkata
"Kedua kakinya juga bukan aurat."
 
Imam  Ahmad  berkata, "Seluruh tubuhnya adalah aurat kecuali
wajahnya saja"6
 
Ini juga merupakan  pendapat  Daud  sebagaimana  dikemukakan
dalam Nailul Authar (2: 55).
 
Adapun  Ibnu  Hazm,  maka  beliau  mengecualikan  wajah  dan
telapak tangan, sebagaimana disebutkan dalam al-Muhalla, dan
akan kami kemukakan alasan-alasan yang beliau berikan.
 
Ini  juga  merupakan  pendapat  jamaah  sahabat  dan tabi'in
sebagaimana  yang  tampak  jelas  dalam  penafsiran   mereka
terhadap  ayat  "apa  yang bisa tampak daripadanya" (an-Nur:
31).
 
DALIL-DALIL GOLONGAN YANG MEMPERBOLEHKAN
MEMBUKA WAJAH DAN TELAPAK TANGAN
 
Saya akan kemukakan beberapa dalil syar'iyah terpenting yang
dijadikan dasar oleh golongan yang berpendapat  tidak  wajib
memakai cadar serta boleh membuka wajah dan telapak tangan -
yaitu jumhur ulama - seperti berikut ini,  dan  insya  Allah
hal ini sudah memadai.
 
1. Penafsiran sahabat terhadap ayat "kecuali apa yang biasa
   tampak daripadanya."
   
   Jumhur ulama dari kalangan sahabat dan orang-orang yang
   mengikuti mereka dengan baik (para tabi'in) menafsirkan
   firman Allah dalam surat an-Nur ayat 31 ("Dan janganlah
   mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak
   daripadanya") bahwa yang dimaksud adalah "wajah dan telapak
   tangan, atau celak dan cincin, serta perhiasan-perhiasan
   yang serupa dengannya."
   
   Al-Hafizh as-Suyuthi menyebutkan sejumlah besar pendapat
   mengenai masalah ini dalam kitabnya Ad-durrul Mantsur fit
   Tafsir bil Ma'tsur.
   
   Ibnul Mundzir meriwayatkan dari Anas mengenai firman Allah
   "dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa
   yang biasa tampak daripadanya," yang maksudnya adalah "celak
   dan cincin."
   
   Sa'id bin Manshur, Ibnu Jarir, Abdullah bin Humaid, Ibnul
   Mundzir, dan al-Baihaqi meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a.
   mengenai bunyi ayat tersebut dengan "celak, cincin,
   anting-anting, dan kalung."
   
   Abdur Razaq dan Abd bin Humaid meriwayatkan dari Ibnu Abbas
   mengenai "kecuali apa yang biasa tampak daripadanya," yaitu
   "pemerah kuku dan cincin."
   
   Ibnu Abi Syaibah, Abd bin Humaid, dan Ibnu Abi Hatim
   meriWayatkan dari Ibnu Abbas mengenai "apa yang biasa tampak
   daripadanya," yaitu "wajah, telapak tangan, dan cincin."
   
   Ibnu Abi Syaibah, Abd bin Humaid, dan Ibnu Abi Hatim juga
   meriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai firman Allah "kecuali
   apa yang biasa tampak daripadanya," yaitu "raut wajah dan
   telapak tangan."
   
   Ibnu Abi Syaibah, Abd bin Humaid, Ibnul Mundzir, dan
   al-Baihaqi dalam sunan-nya, meriwayatkan dari Aisyah r.a.
   bahwa beliau pernah ditanya mengenai perhiasan yang biasa
   tampak itu, lalu beliau menJawab, "gelang dan cincin."
   Beliau mengatakan demikian sambil mengatupkan ujung lengan
   bajunya.
   
   Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Ikrimah mengenai firman
   Allah "kecuali apa yang biasa tampak daripadanya." Menurut
   beliau yang dimaksud adalah "wajah dan lingkar leher (antara
   dua tulang selangka)."
   
   Ibnu Jarir meriwayatkan dari Sa'id bin Jubair mengenai ayat
   tersebut dengan penafsiran "wajah dan telapak tangan." Ibnu
   Jarir juga meriwayatkan dari 'Atha mengenai ayat yang sama
   dengan penafsiran "kedua telapak tangan dan wajah."
   
   Abdur Razaq dan Ibnu Jarir, dari Qatadah, menasirkan ayat
   tersebut dengan "kedua gelang, cincin, dan celak." Menurut
   Qatadah, "Telah sampai berita kepadaku bahwa Nabi saw.
   bersabda:
   
   "Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari
   akhir (untuk menampakkan tangannya) kecuali hingga ini,
   seraya beliau memegang separo lengannya."
   
   Abdur Razaq dan Ibnu Jarir, dari Ibnu Juraij, yang mengutip
   perkataan Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud bunyi ayat "dan
   janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang
   biasa tampak daripadanya" adalah "cincin dan gelang."
   
   Menurut Ibnu Juraij, Aisyah pernah berkata, "Anak perempuan
   dari saudara laki-lakiku seibu, yaitu Abdullah bin Thufail,
   pernah masuk ke tempatku dengan mengenakan perhiasan. Dia
   masuk ke tempat Nabi saw., kemudian beliau berpaling." Lalu
   Aisyah berkata "Sesungguhnya dia adalah anak perempuan
   saudara laki-lakiku dan dia seorang pembantu." Kemudian
   beliau bersabda:
   
   "Apabila seorang wanita telah dewasa, ia tidak boleh
   menampakkan selain wajahnya dan selain yang di bawah ini."
   
   Seraya beliau memegang lengannya sendiri, lalu beliau
   biarkan antara pegangannya itu dengan telapak tangan
   sepanjang segenggam tangan."7
   
   Namun, dalam hal ini Ibnu Mas'ud berbeda pendapat dengan
   Ibnu Abbas, Aisyah, dan Anas radhiyallahu 'anhum. Ibnu
   Mas'ud berkata, "Apa yang biasa tampak itu ialah pakaian dan
   jilbab."
   
   Menurut pendapat saya, penafsiran Ibnu Abbas dan yang
   sependapat dengannya itu merupakan penafsiran yang rajih
   (kuat), karena pengecualian dalam ayat "kecuali apa yang
   biasa tampak daripadanya" itu datang setelah larangan
   menampakkan perhiasan, yang hal ini menunjukkan semacam
   rukhshah (keringanan) dan pemberian kemudahan, sedangkan
   tampaknya selendang, jilbab, dan pakaian-pakaian luar
   lainnya sama sekali bukan rukhshah atau kemudahan, atau
   menghilangkan kesulitan, karena tampak atau terlihatnya
   pakaian luar itu sudah otomatis. Oleh karena itu, pendapat
   ini dikuatkan oleh ath-Thabari, al-Qurthubi, ar-Razi,
   al-Baidhawi, dan lain-lainnya, dan ini merupakan pendapat
   jumhur ulama.
   
   Adapun al-Qurthubi menguatkan pendapat ini karena sudah
   lumrah wajah dan tangan itu tampak baik dalam adat maupun
   dalam ibadah, seperti dalam shalat dan haji. Oleh karena
   itu, tepatlah apabila istitsna' (pengecualian) itu kembali
   kepadanya.
   
   Pendapat ini dimantapkan dengan hadits yang diriwayatkan
   oleh Abu Daud bahwa Asma binti Abu Bakar pernah menghadap
   Nabi saw. dengan mengenakan pakaian yang tipis, lalu Nabi
   saw. berpaling seraya berkata:
   
   "'Wahai Asma, apabila wanita telah mengeluarkan darah haid
   (sudah dewasa), maka tidak boleh tampak dari tubuhnya selain
   ini dan ini,' dan beliau berisyarat kepada wajah dan kedua
   tangannya."
   
   Memang, kalau hanya hadits ini saja tidak dapat dijadikan
   hujjah karena kemursalannya dan kelemahan perawinya dari
   Aisyah, sebagaimana yang sudah dimaklumi, tetapi ia
   mempunyai syahid (pendukung) dari hadits Asma binti Umais
   sehingga kedudukannya menjadi kuat, ditambah lagi dengan
   praktek kaum wanita pada zaman Nabi saw. dan para
   sahabatnya. Oleh karena itu, pakar hadits al-Albani
   menghasankannya dalam kitab-kitabnya, seperti: Hijab
   al-Mar'ah al-Muslimah, al-Irwa', Shahih al-Jam'i
   ash-Shaghir, dan Takhrij al-Halal wal-Haram.
   
2. Perintah Mengulurkan Kerudung ke Dada, bukan ke Wajah
   Allah berfirman:
   
   "... Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya
   ..." (an-Nur: 31 )
   
   Lafal al-khumuru adalah bentuk jamak dari kata khimaaru,
   yaitu tutup kepala, sedangkan lafal al-juyuubu adalah bentuk
   jamak dari kata jaibu, yaitu belahan dada pada baju atau
   lainnya. Maka wanita-wanita mukminah diperintahkan
   menutupkan dan mengulurkan penutup kepalanya sehingga dapat
   menutupi leher dan dadanya, dan jangan membiarkannya
   terlihat sebagaimana yang dilakukan wanita-wanita jahiliah.
   
   Seandainya menutup muka itu wajib, niscaya dijelaskan dengan
   tegas oleh ayat itu dengan memerintahkan wanita menutup
   wajahnya, sebagaimana dengan tegas ayat itu memerintahkan
   mereka menutup dadanya. Karena itu, setelah mengemukakan
   ayat ini Ibnu Hazm berkata, "Maka Allah Ta'ala memerintahkan
   mereka (kaum wanita) menutupkan kerudungnya ke dadanya, dan
   ini merupakan nash untuk menutup aurat, leher, dan dada, dan
   ini juga merupakan nash yang memperbolehkan membuka wajah,
   dan tidak mungkin dapat diartikan selain itu."8
   
3. Perintah kepada Laki-laki untuk Menahan Pandangan
   
   Al-Qur'an dan As-Sunnah menyuruh laki-laki menahan
   pandangannya. Firman Allah:
   
   "Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, 'Hendaklah
   mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya;
   yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka,
   sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat."
   (an-Nur: 30)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar