Tidak ada alasan bagi saya untuk diam dan merasa cukup
dengan apa yang pernah saya tulis sebelumnya.
Saya tahu bahwa perdebatan mengenai masalah-masalah
khilafiyah itu tidak akan selesai dengan adanya
makalah-makalah dan tulisan-tulisan lepas, bahkan dalam
bentuk sebuah buku (kitab) sekalipun.
Selama sebab-sebab perbedaan pendapat itu masih ada, maka
ikhtilaf (perbedaan pendapat) itu akan senantiasa ada
diantara manusia, meskipun mereka sama-sama muslim, patuh
pada agamanya, dan ikhlas.
Bahkan kadang-kadang komitmen dan keikhlasan terhadap agama
menyebabkan perbedaan pendapat itu semakin tajam.
Masing-masing pihak ingin mengunggulkan dan memberlakukan
pendapat yang diyakininya benar sebagai ajaran agama yang
akan diperhitungkan dengan mendapatkan pahala (bagi yang
melaksanakannya) atau mendapatkan hukuman (bagi yang
melanggarnya).
Perbedaan pendapat itu akan terus berlangsung selama
nash-nashnya sendiri - yang merupakan sumber penggalian
hukum - masih menerima kemungkinan perbedaan pendapat
tentang periwayatan dan petunjuknya, selama pemahaman dan
kemampuan manusia untuk mengistimbath (menggali dan
mengeluarkan) hukum masih berbeda-beda, dan sepanjang masih
ada kemungkinan untuk mengambil zhahir nash atau
kandungannya, yang tersurat atau yang tersirat, yang
rukhshah (merupakan keringanan) ataupun yang 'azimah (hukum
asal), yang lebih hati-hati atau yang lebih mudah.
Perbedaan pendapat akan senantiasa muncul selama manusia
masih ada yang bersikap ketat seperti Ibnu Umar dan ada yang
bersikap longgar seperti Ibnu Abbas; dan selama diantara
mereka masih ada orang yang menunaikan shalat ashar di
tengah jalan dan ada yang tidak menunaikannya melainkan di
perkampungan Bani Quraizhah (setelah sampai di sana).
Adalah merupakan rahmat Allah bahwa perbedaan pendapat
seperti ini tidak terlarang dan bukan perbuatan dosa, dan
orang yang keliru dalam berijtihad ini dimaafkan bahkan
mendapat pahala satu. Bahkan ada orang yang mengatakan,
"Tidak ada yang salah dalam ijtihad-ijtihad furu'iyah ini,
semuanya benar."
Para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik juga sering berbeda pendapat antara yang satu dengan
yang lain mengenai masalah-masalah furu' (cabang) dalam
agama, namun mereka tidak menganggap hal itu sebagai bahaya.
Mereka tetap bersikap toleran, dan sebagian mereka shalat di
belakang sebagian yang lain, tanpa ada yang mengingkari.
Dengan menyadari bahwa perbedaan pendapat itu akan
senantiasa ada, maka saya harus menjawab pertanyaan ini, dan
saya akan mengulangi tema tersebut dengan menambahkan
penjelasan. Mudah-mudahan Allah memberi taufik kepada saya
hingga mampu mengungkapkan perkataan yang benar, yang dapat
memutuskan perselisihan atau - minimal - mengurangi
ketajamannya, yang melunakkan kekerasannya sehingga hati
wanita yang berhijab (tetapi tidak bercadar) merasa riang
dan memudahkan urusan bagi yang mengumandangkan cadar (untuk
memakainya).
MEMPERLIHATKAN MUKA DAN TANGAN MENURUT PENDAPAT JUMHUR ULAMA
Ingin segera saya tegaskan disini tentang suatu hakikat yang
sebenarnya sudah tidak perlu penegasan, karena di kalangan
ahli ilmu hal itu sudah terkenal dan tidak samar lagi, sudah
masyhur dan tidak asing lagi, yaitu bahwa pendapat tentang
tidak wajibnya memakai cadar serta bolehnya membuka wajah
dan kedua telapak tangan bagi wanita muslimah di depan
laki-laki lain yang bukan muhrimnya adalah pendapat jumhur
fuqaha umat semenjak zaman sahabat r.a..
Karena itu tidak perlu dipertengkarkan, sebagaimana yang
ditimbulkan oleh sebagian yang ikhlas tetapi tidak berilmu
dan oleh sebagian pelajar dan ilmuwan yang bersikap ketat
terhadap pendapat yang dikemukakan seorang da'i kondang
Syekh Muhammad al-Ghazali dalam beberapa buku dan
makalahnya. Mereka beranggapan seakan-akan beliau membawa
bid'ah atau pendapat baru, padahal sebenarnya apa yang
beliau kemukakan itu merupakan pendapat imam-imam yang
mu'tabar dan fuqaha yang andal, sebagaimana yang akan saya
jelaskan kemudian. Selain itu, apa yang beliau kemukakan
merupakan pendapat yang didukung oleh dalil-dalil dan atsar,
disandarkan pada penalaran dan i'tibar, dan didukung pula
oleh realitas dalam beberapa zaman.
MAZHAB HANAFI
Dalam kitab al-Ikhtiyar, salah satu kitab Mazhab Hanafi,
disebutkan: Tidak diperbolehkan melihat wanita lain kecuali
wajah dan telapak tangannya, jika tidak dikhawatirkan timbul
syahwat. Dan diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa beliau
menambahkan dengan kaki, karena pada yang demikian itu ada
kedaruratan untuk mengambil dan memberi serta untuk mengenal
wajahnya ketika bermuamalah dengan orang lain, untuk
menegakkan kehidupan dan kebutuhannya, karena tidak adanya
orang yang melaksanakan sebab-sebab penghidupannya.
Beliau berkata: Sebagai dasarnya ialah firman Allah, "Dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang
biasa tampak daripadanya." (an-Nur: 31 )
Para sahabat pada umumnya berpendapat bahwa yang dimaksud
ayat tersebut ialah celak dan cincin, yaitu tempatnya
(bagian tubuh yang ditempati celak dan cincin). Hal ini
sebagaimana telah saya jelaskan bahwa celak, cincin, dan
macam-macam perhiasan itu halal dilihat oleh kerabat maupun
orang lain. Maka yang dimaksud disini ialah 'tempat
perhiasan itu,' dengan jalan membuang mudhaf dan menempatkan
mudhaf ilaih pada tempatnya.
Beliau berkata, adapun kaki, maka diriwayatkan bahwa ia
bukanlah aurat secara mutlak, karena bagian ini diperlukan
untuk berjalan sehingga akan tampak. Selain itu, kemungkinan
timbulnya syahwat karena melihat muka dan tangan itu lebih
besar, maka halalnya melihat kaki adalah lebih utama.
Dalam satu riwayat disebutkan, kaki itu adalah aurat untuk
dipandang, bukan untuk shalat.1
MAZHAB MALIKI
Dalam syarah shaghir (penjelasan ringkas) karya ad-Dardir
yang berjudul Aqrabul Masalik ilaa Malik, disebutkan:
"Aurat wanita merdeka terhadap laki-laki asing, yakni yang
bukan mahramnya, ialah seluruh tubuhnya selain wajah dan
telapak tangan. Adapun selain itu bukanlah aurat."
Ash-Shawi mengomentari pendapat tersebut dalam Hasyiyah-nya,
katanya, "Maksudnya, boleh melihatnya, baik bagian luar
maupun bagian dalam (tangan itu), tanpa maksud
berlezat-lezat dan merasakannya, dan jika tidak demikian
maka hukumnya haram."
Beliau berkata, "Apakah pada waktu itu wajib menutup wajah
dan kedua tangannya?" Itulah pendapat Ibnu Marzuq yang
mengatakan bahwa ini merupakan mazhab (Maliki) yang masyhur.
Atau, apakah wanita tidak wajib menutup wajah dan tangannya
hanya si laki-laki yang harus menundukkan pandangannya? Ini
adalah pendapat yang dinukil oleh al-Mawaq dari 'Iyadh.
Sedangkan Zurruq merinci dalam Syarah al-Waghlisiyah antara
wanita yang cantik dan yang tidak, yang cantik wajib
menutupnya, sedangkan yang tidak cantik hanya mustahab.2
MAZHAB SYAFI'I
Asy-Syirazi, salah seorang ulama Syafi'iyah, pengarang kitab
al-Muhadzdzab mengatakan:
"Adapun wanita merdeka, maka seluruh tubuhnya adalah aurat,
kecuali wajah dan telapak tangan - Imam Nawawi berkata:
hingga pergelangan tangan - berdasarkan firman Allah 'Dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang
biasa tampak daripadanya.' Ibnu Abbas berkata, 'Wajahnya dan
kedua telapak tangannya.'3
Disamping itu, karena Nabi saw. 'melarang wanita yang sedang
ihram mengenakan kaos tangan dan cadar'.4 Seandainya wajah
dan telapak tangan itu aurat, niscaya beliau tidak akan
mengharamkan menutupnya. Selain itu, juga karena dorongan
kebutuhan untuk menampakkan wajah pada waktu jual beli,
serta perlu menampakkan tangan untuk mengambil dan
memberikan sesuatu, karena itu (wajah dan tangan) ini tidak
dianggap aurat.
Imam Nawawi menambahkan dalam syarahnya terhadap
al-Muhadzdzab, yaitu al-Majmu', "Diantara ulama Syafi'iyah
ada yang menceritakan atau mengemukakan suatu pendapat bahwa
telapak kaki bukanlah aurat. Al-Muzani berkata, 'Telapak
kaki itu bukan aurat.' Dan pendapat mazhab adalah yang
pertama."5
MAZHAB HAMBALI
Dalam mazhab Hambali kita dapati Ibnu Qudamah mengatakan
dalam kitabnya al-Mughni (1: 601) sebagai berikut: Tidak
diperselisihkan dalam mazhab tentang bolehnya wanita membuka
wajahnya dalam shalat, dan dia tidak boleh membuka selain
wajah dan telapak tangannya. Sedangkan mengenai telapak
tangan ini ada dua riwayat.
Para ahli ilmu berbeda pendapat, tetapi kebanyakan mereka
sepakat bahwa ia boleh melakukan shalat dengan wajah
terbuka. Dan mereka juga sepakat bahwa wanita merdeka itu
harus mengenakan tutup kepalanya jika melakukan shalat, dan
jika ia melakukan shalat dalam keadaan seluruh kepalanya
terbuka, maka ia wajib mengulangmya.
Imam Abu Hanifah berkata, "Kaki itu bukan aurat, karena
kedua kaki itu memang biasanya tampak. Karena itu, ia
seperti wajah."
Imam Malik, al-Auza'i, dan Imam Syafi'i berkata, "Seluruh
tubuh wanita itu adalah aurat kecuali muka dan tangannya,
dan selain itu wajib ditutup pada waktu shalat, karena dalam
menafsirkan ayat ,dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak daripadanya,"
Ibnu Abbas berkata, 'Yaitu wajah dan telapak tangan."
Selain itu, karena Nabi saw. melarang wanita berihram
memakai kaus tangan dan cadar. Andaikata wajah dan tangan
itu aurat niscaya beliau tidak akan mengharamkan menutupnya.
Selain itu, karena diperlukan membuka wajah dalam urusan
jual beli, begitupun kedua tangan untuk mengambil (memegang)
dan memberikan sesuatu.
Sebagian sahabat kami berkata, "Wanita itu seluruhnya adalah
aurat, karena diriwayatkan dari Nabi saw. bahwa wanita itu
aurat." Diriwayatkan oleh Tirmidzi dan beliau berkata,
"Hadits hasan sahih." Tetapi beliau memberinya rukhshah
(keringanan) untuk membuka wajah dan tangannya karena jika
ditutup akan menimbulkan kesulitan. Dan diperbolehkan
melihatnya pada waktu meminang karena wajah itu merupakan
pusat kecantikan. Dan ini adalah pendapat Abu Bakar
al-Harits bin Hisyam, beliau berkata, "Wanita itu seluruhnya
adalah aurat hingga kukunya."
Demikian keterangan dalam kitab al-Mughni.
MAZHAB-MAZHAB LAIN
Dalam menjelaskan berbagai pendapat ulama tentang masalah
aurat, Imam Nawawi mengatakan dalam kitabnya al-Majmu':
Aurat wanita itu ialah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan
telapak tangannya. Disamping Imam Syafi'i, yang berpendapat
demikian adalah Imam Malik, Abu Hanifah, al-Auza'i, Abu
Tsaur, dan segolongan ulama, serta satu riwayat dari Imam
Ahmad.
Selain itu, Imam Abu Hanifah, Tsauri, dan al-Muzani berkata
"Kedua kakinya juga bukan aurat."
Imam Ahmad berkata, "Seluruh tubuhnya adalah aurat kecuali
wajahnya saja"6
Ini juga merupakan pendapat Daud sebagaimana dikemukakan
dalam Nailul Authar (2: 55).
Adapun Ibnu Hazm, maka beliau mengecualikan wajah dan
telapak tangan, sebagaimana disebutkan dalam al-Muhalla, dan
akan kami kemukakan alasan-alasan yang beliau berikan.
Ini juga merupakan pendapat jamaah sahabat dan tabi'in
sebagaimana yang tampak jelas dalam penafsiran mereka
terhadap ayat "apa yang bisa tampak daripadanya" (an-Nur:
31).
DALIL-DALIL GOLONGAN YANG MEMPERBOLEHKAN
MEMBUKA WAJAH DAN TELAPAK TANGAN
Saya akan kemukakan beberapa dalil syar'iyah terpenting yang
dijadikan dasar oleh golongan yang berpendapat tidak wajib
memakai cadar serta boleh membuka wajah dan telapak tangan -
yaitu jumhur ulama - seperti berikut ini, dan insya Allah
hal ini sudah memadai.
1. Penafsiran sahabat terhadap ayat "kecuali apa yang biasa
tampak daripadanya."
Jumhur ulama dari kalangan sahabat dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik (para tabi'in) menafsirkan
firman Allah dalam surat an-Nur ayat 31 ("Dan janganlah
mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak
daripadanya") bahwa yang dimaksud adalah "wajah dan telapak
tangan, atau celak dan cincin, serta perhiasan-perhiasan
yang serupa dengannya."
Al-Hafizh as-Suyuthi menyebutkan sejumlah besar pendapat
mengenai masalah ini dalam kitabnya Ad-durrul Mantsur fit
Tafsir bil Ma'tsur.
Ibnul Mundzir meriwayatkan dari Anas mengenai firman Allah
"dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa
yang biasa tampak daripadanya," yang maksudnya adalah "celak
dan cincin."
Sa'id bin Manshur, Ibnu Jarir, Abdullah bin Humaid, Ibnul
Mundzir, dan al-Baihaqi meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a.
mengenai bunyi ayat tersebut dengan "celak, cincin,
anting-anting, dan kalung."
Abdur Razaq dan Abd bin Humaid meriwayatkan dari Ibnu Abbas
mengenai "kecuali apa yang biasa tampak daripadanya," yaitu
"pemerah kuku dan cincin."
Ibnu Abi Syaibah, Abd bin Humaid, dan Ibnu Abi Hatim
meriWayatkan dari Ibnu Abbas mengenai "apa yang biasa tampak
daripadanya," yaitu "wajah, telapak tangan, dan cincin."
Ibnu Abi Syaibah, Abd bin Humaid, dan Ibnu Abi Hatim juga
meriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai firman Allah "kecuali
apa yang biasa tampak daripadanya," yaitu "raut wajah dan
telapak tangan."
Ibnu Abi Syaibah, Abd bin Humaid, Ibnul Mundzir, dan
al-Baihaqi dalam sunan-nya, meriwayatkan dari Aisyah r.a.
bahwa beliau pernah ditanya mengenai perhiasan yang biasa
tampak itu, lalu beliau menJawab, "gelang dan cincin."
Beliau mengatakan demikian sambil mengatupkan ujung lengan
bajunya.
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Ikrimah mengenai firman
Allah "kecuali apa yang biasa tampak daripadanya." Menurut
beliau yang dimaksud adalah "wajah dan lingkar leher (antara
dua tulang selangka)."
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Sa'id bin Jubair mengenai ayat
tersebut dengan penafsiran "wajah dan telapak tangan." Ibnu
Jarir juga meriwayatkan dari 'Atha mengenai ayat yang sama
dengan penafsiran "kedua telapak tangan dan wajah."
Abdur Razaq dan Ibnu Jarir, dari Qatadah, menasirkan ayat
tersebut dengan "kedua gelang, cincin, dan celak." Menurut
Qatadah, "Telah sampai berita kepadaku bahwa Nabi saw.
bersabda:
"Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari
akhir (untuk menampakkan tangannya) kecuali hingga ini,
seraya beliau memegang separo lengannya."
Abdur Razaq dan Ibnu Jarir, dari Ibnu Juraij, yang mengutip
perkataan Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud bunyi ayat "dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang
biasa tampak daripadanya" adalah "cincin dan gelang."
Menurut Ibnu Juraij, Aisyah pernah berkata, "Anak perempuan
dari saudara laki-lakiku seibu, yaitu Abdullah bin Thufail,
pernah masuk ke tempatku dengan mengenakan perhiasan. Dia
masuk ke tempat Nabi saw., kemudian beliau berpaling." Lalu
Aisyah berkata "Sesungguhnya dia adalah anak perempuan
saudara laki-lakiku dan dia seorang pembantu." Kemudian
beliau bersabda:
"Apabila seorang wanita telah dewasa, ia tidak boleh
menampakkan selain wajahnya dan selain yang di bawah ini."
Seraya beliau memegang lengannya sendiri, lalu beliau
biarkan antara pegangannya itu dengan telapak tangan
sepanjang segenggam tangan."7
Namun, dalam hal ini Ibnu Mas'ud berbeda pendapat dengan
Ibnu Abbas, Aisyah, dan Anas radhiyallahu 'anhum. Ibnu
Mas'ud berkata, "Apa yang biasa tampak itu ialah pakaian dan
jilbab."
Menurut pendapat saya, penafsiran Ibnu Abbas dan yang
sependapat dengannya itu merupakan penafsiran yang rajih
(kuat), karena pengecualian dalam ayat "kecuali apa yang
biasa tampak daripadanya" itu datang setelah larangan
menampakkan perhiasan, yang hal ini menunjukkan semacam
rukhshah (keringanan) dan pemberian kemudahan, sedangkan
tampaknya selendang, jilbab, dan pakaian-pakaian luar
lainnya sama sekali bukan rukhshah atau kemudahan, atau
menghilangkan kesulitan, karena tampak atau terlihatnya
pakaian luar itu sudah otomatis. Oleh karena itu, pendapat
ini dikuatkan oleh ath-Thabari, al-Qurthubi, ar-Razi,
al-Baidhawi, dan lain-lainnya, dan ini merupakan pendapat
jumhur ulama.
Adapun al-Qurthubi menguatkan pendapat ini karena sudah
lumrah wajah dan tangan itu tampak baik dalam adat maupun
dalam ibadah, seperti dalam shalat dan haji. Oleh karena
itu, tepatlah apabila istitsna' (pengecualian) itu kembali
kepadanya.
Pendapat ini dimantapkan dengan hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Daud bahwa Asma binti Abu Bakar pernah menghadap
Nabi saw. dengan mengenakan pakaian yang tipis, lalu Nabi
saw. berpaling seraya berkata:
"'Wahai Asma, apabila wanita telah mengeluarkan darah haid
(sudah dewasa), maka tidak boleh tampak dari tubuhnya selain
ini dan ini,' dan beliau berisyarat kepada wajah dan kedua
tangannya."
Memang, kalau hanya hadits ini saja tidak dapat dijadikan
hujjah karena kemursalannya dan kelemahan perawinya dari
Aisyah, sebagaimana yang sudah dimaklumi, tetapi ia
mempunyai syahid (pendukung) dari hadits Asma binti Umais
sehingga kedudukannya menjadi kuat, ditambah lagi dengan
praktek kaum wanita pada zaman Nabi saw. dan para
sahabatnya. Oleh karena itu, pakar hadits al-Albani
menghasankannya dalam kitab-kitabnya, seperti: Hijab
al-Mar'ah al-Muslimah, al-Irwa', Shahih al-Jam'i
ash-Shaghir, dan Takhrij al-Halal wal-Haram.
2. Perintah Mengulurkan Kerudung ke Dada, bukan ke Wajah
Allah berfirman:
"... Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya
..." (an-Nur: 31 )
Lafal al-khumuru adalah bentuk jamak dari kata khimaaru,
yaitu tutup kepala, sedangkan lafal al-juyuubu adalah bentuk
jamak dari kata jaibu, yaitu belahan dada pada baju atau
lainnya. Maka wanita-wanita mukminah diperintahkan
menutupkan dan mengulurkan penutup kepalanya sehingga dapat
menutupi leher dan dadanya, dan jangan membiarkannya
terlihat sebagaimana yang dilakukan wanita-wanita jahiliah.
Seandainya menutup muka itu wajib, niscaya dijelaskan dengan
tegas oleh ayat itu dengan memerintahkan wanita menutup
wajahnya, sebagaimana dengan tegas ayat itu memerintahkan
mereka menutup dadanya. Karena itu, setelah mengemukakan
ayat ini Ibnu Hazm berkata, "Maka Allah Ta'ala memerintahkan
mereka (kaum wanita) menutupkan kerudungnya ke dadanya, dan
ini merupakan nash untuk menutup aurat, leher, dan dada, dan
ini juga merupakan nash yang memperbolehkan membuka wajah,
dan tidak mungkin dapat diartikan selain itu."8
3. Perintah kepada Laki-laki untuk Menahan Pandangan
Al-Qur'an dan As-Sunnah menyuruh laki-laki menahan
pandangannya. Firman Allah:
"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, 'Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya;
yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat."
(an-Nur: 30)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar